Kamis, 25 Februari 2016

ME to the NI to the KAH






Dapet pertanyaan begitu? Berasa udah tua euy heuheuheuuuuuu
Padahal baru aja masuk zona 20 ini, hahaaa.
Plakkk...
Sebelum lanjut ngetik kela ahh senyum dulu yuuukk :D
hahahaha...

Ceritanya pasang DP schreenshoot itu di bbm, terus ada yg komen sebut saja si kang D :
D : Ayo ca, jangan nunda2 niat baik..
I :  Lah? Saha yang nunda kang?
D:  Eh waktu itu lo bilang mau sukses dulu baru nikah, ah kelamaan tauuuu....
I :  Waduhh iraha ica talking seperti itu kang? terus kalo iya emangnya kunaon? :p
D :  Sekarang aja lo udah mulai masuk 20, pas nanti lanjut lulus sampai S1? S2? S teler? Itu mungkin udh mendekati 24/25
I  :  Terus?
D:  Eh 23 tuh harusnya udah cukup untuk perempuan nikah, kalo ketuaan nanti susah punya anak loh!
I     :  *^$@@#$##*&...#/^

Kalimat terakhir darinya itu membuat saya cengar-cengir di depan layar hp persis orang gila. Kalimat yang diucapkan seorang pria; saudara teman saya sekaligus udah kami anggap seperti kakak sendiri dalam kontak cakap maya itu tiba-tiba menstimulasi  untuk menanggapi topik yang biasanya saya hindari dalam percakapan-percakapan sejenis. Kebetulan dia telah menikah, istrinya pun sangat baik.

Oke, back to topic cin. Saya sering menghindar dari topic pernikahan bukan karena nggak bisa menjawab… mmm tapi ya karena berasa masih usia dini aja kalo ngomongin itu heuheuyy.. Dan entahlah beberpa hari ini topic di group kontak cakap maya seperti WA dan FB ada aja yang nyempillin masalah nikah dam jodoh disela-sela obrolan dan promosi dagangan hahaa..

Saat saya siap, saya akan membuka diri seluas-luasnya untuk makhluk bernama Bina Hubungan itu. Tapi (saat ini), saya masih memilih untuk tutup mata dari segala sesuatu yang berkaitan dengan Pernikahan yang sebenarnya..

Kenapa?

Alasannya sederhana saja  :  Saya belum siap. Maka saya mempersiapkan. Tolong jangan ganggu persiapan saya (dengan desakan-desakan tak berasalan).. ckckkk

Walau secara medis kantung rahim saya sudah cukup matang dan siap dibuahi untuk menghasilkan calon penerus bangsa. Sungguh, saat ini hal yang belum ada di pikiran saya adalah pernikahan. Apalagi desakan-desakan untuk menyegerakan. Hmm, nanti heula, Jendral! :D
**karena serasa masih banyak hutang pencapaian buat ibu, bapak dan Indonesia euy** hikss

Dulu dan entah kapan gitu ya mungkin saya memang pernah berkata pada kang D itu bahwa saya akan mewujudkan mimpi dulu baru akan menikah. Namun, apabila harus menikah saat ini pun - saya akan melakukannya. Jika memang saya sudah siap. Sekali lagi, jika memang saya sudah siap. :p
Tiap orang punya standar siapnya masing-masing guys, tidak bisa dipaksa dengan standar orang lain.

Kenapa? (2)

Karena bagi saya, pernikahan membutuhkan tingkat kematangan dan kedewasaan tertentu dari masing-masing pihak yang terlibat (baca: calon suami dan calon istri) iyaa.. (aku dan kamu) #eeaa haha. Saya termasuk spesies yang selalu percaya bahwa kedewasaan seseorang tidak bisa diukur dari umur belaka. #azeek
 

Saya juga tidak membantah fakta medis bahwa usia 23-25 tahun adalah usia reproduksi paling ideal bagi perempuan. Tapi, kalaupun di usia 25 tahun saya belum juga merasa siap untuk menikah, percayalah, saya lebih memilih menunda dan banyak-banyak berdoa di ruang bersalin saat akan melahirkan (jika memang di atas 25) daripada menghabiskan seumur hidup untuk mendoakan anak saya yang tersiksa lantaran saya menjadi Ibu dalam kondisi belum siap (mental dan emosional), sehingga tidak bisa mendidik anak saya dengan baik.


Dapet kiriman gambar dari seorang teman seperti itu, dan waduhh menurut saya itu cukup (sangat) ngeri sih, gimana kalo anak saya nanti gitu.*ketok meja*





D: Eh apa jangan2 lo minder ya dgn pendidikan, tapi urang rasa kamu itu perempuan yg pintar dan mandiri Ca, jadi udah cukup membantu dalam proses kematangan dan kedewasaan lo.
I : *irung ica terbang weh ah* hahaa… Eh Pendidikan gak menentukan kematangan ah! How a person live his/her life, that does.
D : Tapi seiring dengan waktu, pasti kita terus berkembang kan Ca.
I: Saat ini ica merasa masih butuh banyak belajar – dan belajar itu butuh WAKTU. Makanya, kelak, gak merasa perlu cepet-cepet married hanya karena desakan umur 25 :p
D : Tapi urang tetep sama pendirian urang ah ca (cewek umur 23 – 24 idealnya harus married). Untuk cewek, maksimal 25 lah. Jangan sampe lewat! Nanti expired.. 25 udah korting tuh..



What?
KORTIIIIING??
*dalemmhati*
Jiirrr LO PIKIR CABE KERITING blehh!! CKCKCK…
MACEM NAWAR BAYEM DI NENG ISAR AJA ?? CIEE -___-



"berapa sar?"
"Tiga ribu 2 teh"
"Ahh dua ribu 2 aja atuh"
"Atuh teh itu mah cuma buat modal.. sok lah dualima 2 aja teh..."


 ckckkk
*Istighfar*


Ini kali, ya, yang menyebabkan banyak perempuan lajang berusaha mati-matian dengan ‘segala cara’ untuk mendapatkan Prince Charming sebelum usia 25 tahun? Tanpa memikirkan kesiapan emosional, yang nanti nya akan berpengaruh pada kualitas keluarga dan anak-anak nya kelak.

Karena 25 buat perempuan adalah angka kiamat. Karena di atas 25 identik dengan stempel perawan tua. Karena 25 adalah…..$@*&^//:,;"'$@@*!!^%


D : Jangan-jangan lo nyari cowok yang standarnya ketinggian yaaaa, jadi lo gak pernah merasa siap…
I : Dih, henteulah. Saya nyari yang bisa jadi teman hidup. Saya nyari yang bisa jadi suami baik buat ica, dan ayah untuk anak-anak kelak. #azeekk
D: ehh, gimana sih ca? dimana-mana  tiap cowok kalo udah merit ya jadi suami, dan kalo udah punya anak ya jadi ayah.


Saya terdiam.

Karena menikah, otomatis menjadi suami (atau istri).

Karena punya anak, otomatis menjadi ayah (atau ibu).

?

*Plisss dong ah blehh*

Untuk pendapatmu itu, saya memilih untuk tidak menggunakan kata ‘menjadi’. Saya lebih suka memakai kata ‘disebut’ kali yahh.

Karena menikah, otomatis disebut suami (atau istri).

Karena punya anak, otomatis disebut ayah (atau ibu).

*Hmmmpfff bocahh juga tau-eun atuh kang...*

Setelah percakapan di kanal maya itu berakhir, saya termenung lama. Memuaskan diri dengan memikirkan hal-hal nggak penting seperti:

Kenapa oh kenapa status lajang di usia tertentu bisa membuat seseorang tampak nista?

Kenapa oh kenapa tampilan lahiriah selalu dijadikan parameter untuk menilai keberadaan seseorang?

Apa kabarnya ‘don’t judge a book by its cover’?

Apakah kalau seseorang (dalam hal ini perempuan) tidak bisa memenuhi standar ideal kecantikan dan kepintaran, tidak bisa mendapatkan Prince Charming dan belum bisa menghasilkan calon penerus bangsa sebelum usia 25, lantas ia layak disejajarkan dengan tumpukan kaos berlabel ‘UP TO 50%’? Atau bahkan macem bayam tadi? Hiikss


Mendadak ingat pada sebuah nasihat:

“...mungkin pelajaran sesungguhnya adalah ketika anak-anak perempuan masih bisa tersenyum dan bersyukur, berpikir bahwa mereka sempurna apa adanya…”

............


Lepas dari 'kenapa' dan 'bagaimana'; lepas dari berbagai perspektif dan konsep ideal yang simpang-siur; kehidupan itu sendiri tetaplah patut disyukuri dengan senyuman,  karena ia berharga apa adanya. 

So, buat para mbak, neng, kak, jeng, ceu, grils, ukhti, say jangan pada terlalu resah, baper dan galau, karena hidup adalah hadiah terbesar yang diberikan Sang Pencipta -entah dijalani sendirian atau berpasangan; pada usia 23-24 atau di atas 25; dengan Prince Charming atau sekedar pria biasa.


Entri ini dipersembahkan untuk setiap makhluk bernama Perempuan.
Jika kau siap menikah di usia muda, ayoo segerakan lah.
Jika belum, upayakan lah kesiapan itu.
Jangan peduli desakan yang tidak sesuai  dengan hatimu :p

Banggalah dengan dirimu. Karena kamu sempurna, karena kamu berharga, grils.

Balik lagi ya bahwa jodoh, harta dan kematian itu rahasiaNya ya kak, neng, grils, ceu, cin, say, ukh, mbak :)

-memparafrasekan-